Sabtu, 09 April 2011

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Kasus di Pondok Pesantren)

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Reward and Punishment
Reward and punishment merupakan bagian integral dalam proses pendidikan. Pendidikan memang tidak hanya mempelajari dan mengamati berbagai bidang ilmu, tetapi juga pengembangan individu secara utuh yang menyangkut masalah intelektual, sikap mental, kematangan kejiwaan, interaksi sosial, dll. Reward and punishment ini merupakan salah satu tahapan dan konsekuensi langsung dalam proses penanaman nilai-nilai positif yang diajarkan. Hukuman hendaknya digunakan sebagai bagian dari perencanaan yang teliti dalam mencapai tujuan pendidikan, dan bukan dilakukan karena spontanitas, emosi, frustrasi balas dendam, jalan pintas, apalagi "balas dendam".
Hukuman kepada siswa yang terlambat hadir misalnya, bisa dilakukan dengan memberikan tugas-tugas yang lebih memacu intelektualitas, mungkin membuat karya ilmiah, resensi, atau sekadar sebuah karangan pendek, atau tugas "intelektual" lain sehingga siswa atau mahasiswa mendapat makna lebih baik dalam menjalani setiap proses pendidikan. Kekerasan yang berkembang dalam pendidikan, tidak hanya bisa menghasilkan kultur kekerasan tetapi juga bisa menghasilkan sikap-sikap negatif yang akan mewarnai pola sikap dan pola tindak siswa.
Yang kita khawatirkan, rentetan "tragedi Jatinangor" ini, bukan hanya sebagai sebuah sikap spontanitas, tetapi jadi sebuah bukti dari kekurang sempurnaan sistem yang terkultur dalam sebuah pola pendidikan. Pendidikan adalah penanaman hasrat untuk membangun kembali masyarakat menurut jalur-jalur kemanusiaan yang menekankan pengembangan potensi tiap individu setinggi-tingginya. Menurut Robert Maynard Huthcins (1959) dalam buku Menggugat Pendidikan, jika pendidikan dipahami dengan benar, ia akan dimengerti sebagai pemupukan kecerdasan atau intelektua.
Dari gagasan di atas kita akan sulit menerima dan memahami berbagai perilaku negatif siswa, yang seolah-olah melegalkan kekerasan. Dengan cara-cara kekerasan, sulit dibayangkan bagaimana calon-calon pemimpin menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya di masyarakat nanti. Kekerasan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran para pemilik gagasan mengenai pendidikan. Filsuf pembaharu Paolo Freire dalam Pedagogy of the Opressed (1970), secara gamblang menyatakan, "Kekerasan, entah melibatkan kebrutalan fisik ataukah tidak, dipandang sama dengan tindakan apa pun yang membuat manusia kehilangan kemanusiaan dan hak penentuan nasib sendiri.
"Bagaimanapun "tragedi Jatinangor" ataupun peristiwa-peristiwa kekerasan dalam dunia pendidikan perlu jadi bahan kajian terutama kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Apalagi, orientasi tantangan di masa depan tidak hanya membutuhkan kehandalan, kemampuan dan ketahanan yang bersifat fisik, tetapi lebih membutuhkan kemampuan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas termasuk nilai intelektual dan integritas. Tak bisa dimungkiri kekerasan dan pendidikan seperti siang dan malam. Keduanya seharusnya tidak pernah berada dalam satu ruang dan waktu.

2.2 Deskripsi Model Pendidikan Menurut Beberapa Tokoh
Johann Pestalozzi adalah seorang pendidik Swis yang berpendapat bahwa sekolah tradisional merupakan suatu lembaga untuk penghafalan dan pengulangan yang membosankan, dan karena itu perlu direformasi. Sekolah menurut Pestalozzi harus merupakan rumah dimana terdapat rasa aman dan kasih sayang. Guru, oleh karena itu harus merupakan orang yang memiliki rasa kasih sayang dan mantap secara emosional, sehingga akan dipercaya dan disayangi oleh siswa. Pembelajaran harus dilakukan dengan memanfaatkan obyek biasa (bukan obyek buatan) yang terdapat dalam lingkungan para siswa. Isi pelajaran harus didasarkan pada pengalaman indrawi yang diperoleh anak di rumah dan di lingkungan keluarga. Anak harus dilatih menggunakan inderanya secara aktif untuk mengamati dengan cermat gejala alami yang terdapat dalam lingkungannya. Pestalozzi memberi perhatian khusus kepada anak-anak yang mengalami hambatan seperti miskin, lapar, dan salahasuh, karena dia berpendapat bahwa kunci keberhasilan mengajar adalah kecintaan kepada umat manusia.(Orstein & Levine,1981:138-9)
Maria Montessori adalah seorang doktor dalam bidang kesehatan (wanita Italia pertama yang mendapat gelar Doctor of Medicine), namun terkenal kemudian sebagai seorang pendidik yang mengembangkan gagasan dan falsafah pendidikannya untuk anak-anak. Ia mendirikan sekolah Casa dei Bambini, dengan siswa dari daerah kumuh di Roma (menyandang hambatan). Montessori mengembangkan pendidikannya antara lain dengan konsep “disiplin spontan” dan “aktivitas spontan”. Tiap anak mempunyai kebutuhan untuk berbuat sesuai dengan yang diminatinya tanpa harus diperintah atau diberitahu oleh guru, serta tidak pula karena anak merasa akan mendapatkan ganjaran atau hukuman dari luar. Kegiatan spontan ini perlu dibina dan dikembangkan sebagai dasar untuk belajar membaca dan menulis. Menurut Montessori ada tiga tipe kegiatan dan pengalaman yang perlu dipelajari anak, yaitu ketrampilan praktikal, sensori dan formal. Ketrampilan praktikal misalnya mencuci piring, mengatur meja dan sebagainya, yang merupakan bagian dari tatakrama sosial. Latihan yang diulang-ulang akan membentuk koordinasi sensori dan otot. Sedangkan ketrampilan formal meliputi membaca, menulis dan berhitung. Lingkungan belajar harus dibuat sedemikian rupa hingga menarik dan merangsang anak.(Orstein & Levine,1981:150)
John Dewey adalah seorang gurubesar di Universitas Chicago yang terkenal dengan sekolah laboratoriumnya. Dewey memandang anak sebagai insan sosial yang aktif dan karena itu si anak akan berusaha menjelajahi lingkungannya untuk dapat mengontrolnya. Dalam penjelajahan itu anak akan menghadapi masalah pribadi dan sosial, yang memaksa si anak untuk menggunakan akal dan kemampuannya. Pendidikan merupakan suatu proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (belum dewasa) diajak berpartisipasi dalam masyarakat. Sekolah haruslah merupakan lingkungan khusus yang dibentuk oleh masyarakat dengan tujuan untuk menyederhanakan, memurnikan dan mengintegrasikan pengalaman sosial kelompok, sehingga pengalaman itu dapat dipahami, dikaji dan digunakan oleh anak-didik.
Dewey juga berpendapat bahwa proses pendidikan berlangsung secara ilmiah atau reflektif, yaitu dengan mengolah rangsangan yang diperoleh dari lingkungan, mengintegrasikannya dengan informasi atau pengetahuan yang telah atau dalam proses dimiliki, menjabarkan kemungkinan, dan kemudian mengambil kesimpulan setelah diuji melalui penerapan.(Dewey,1916:192)
Ki Hajar Dewantara (1889-1959) mengembangkan pendidikan Taman Siswa sebagai suatu perjuangan menentang penjajahan dalam segala bentuknya. Beberapa azas perjuangan itu adalah : 1) adanya hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri; 2) pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga; 3) pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat; dan 4) berkehendak untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri. Sistem pendidikan di Taman Siswa dilakukan dengan sistem among, yaitu yang mendasarkan pada kodrat hidup anak dan kemerdekaan. Dasar kodrat hidup anak meliputi kodrat Illahi yaitu bahwa kemampuan anak merupakan anugerah Tuhan, dan kodrat alam yaitu kemampuan yang dimiliki anak sebagaimana pertumbuhannya. Pedoman yang harus dianut adalah : Tut wuri handayani, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa. Dewantara mengartikan pendidikan secara luas yang meliputi tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ke tiga lingkungan itu harus berkembang secara selaras, serasi dan berimbang, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang secara utuh. (Dewantara,1964)
Mohammad Syafei (1896-1969) mengembangkan dan menerapkan gagasan pendidikannya di Kayutanam dengan dasar : 1) berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; 2) kebutuhan masyarakat; 3) kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat; dan 4) tertanamnya rasa percaya diri dan berani bertanggung jawab. Sekolah Kayutanam ini mempunyai dua jenjang, yaitu bawah dan atas. Di kedua jenjang itu kecuali diberikan pelajaran berupa pengetahuan, juga diberikan pelajaran praktek. Pada jenjang bawah, pelajaran pengetahuan (teori) sebanyak 75% dan praktek 25%. Sedangkan pada jenjang atas 50% pengetahuan dan 50% praktek. Bahan pelajaran diambil dari budaya bangsa Indonesia.
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, karena itu dijalin hubungan erat antara sekolah dengan penduduk/masyarakat setempat. Pelajaran yang diberikan harus seuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu ciri khas pendidikan di Kayutanam ini adalah bahwa lulusannya tidak diberi ijazah, karena masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan.(Wasty Soemanto & Soeyarno, 1983:73-6)

2.3 Psikologi Anak
Sejak lahir sampai saat kematian, manusia itu tumbuh mekar, mengalami banyak proses perubahan dan perkembangan. Karena itu prinsip perkembangan itu sifatnya progresif. Lagipula prinsip perkembangan tersebut ada di dalam diri anak itu sendiri. Proses perkembangan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Hereditas/warisan sejak lahir
Misalnya: bakat, pembawaan, konstitusi, potensi-potensi psikis dan fisik.
b) Faktor-faktor lingkungan
Ada hukum konvergensi, dimana faktor intern dan ekstern saling bertemu dan saling mempengaruhi.
Tujuan dari perkembangan adalah menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggung jawab sendiri dan mandiri. Oleh karena individualitas anak adalah unik (bakat pembawaan, potensialitas dan sifat-sifat yang karakteristik), maka setiap perkembangan individu itu punya pola yang khas; tidak pernah ada yang identik sama. Masing-masing anak akan tumbuh berkembang menjadi pribadi yang unik. Lagipula setiap anak yang tumbuh berkembang itu selalu mengalami perubahan pada setiap tingkat perkembangannya.
Setiap anak juga merupakan subyek aktif, yang bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, yaitu kebahagiaan lahir batin di dunia dan di akhirat, walaupun kebahagiaan itu sendiri berlainan arti dan bentuknya bagi setiap pribadi.
Demikian pula cara untuk mencapai kebahagiaan itu pastilah berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa tujuan akhir dari hidup setiap orang itu pasti berbeda juga. Dengan demikian tugas utama setiap orang tua adalah : (a) memberikan fasilitas bagi perkembangan anak dan (b) membantu memperlancar perkembangan anak menurut irama dan temponya sendiri-sendiri. Sejak lahir anak-anak menampilkan cirri-ciri karakteristik yang individual, berbeda satu dengan yang lainnya. Semua cirri individual ini cenderung untuk terus tumbuh dan berkembang sampai pada masa pubertas, adolensi dan dewasa.
Oleh karena itu individu itu merupakan pribadi yang unik, serta tiada duanya dan berusaha merealisasikan diri dalam satu lingkungan sosial. Maka tidak mungkin seorang anak hidup tanpa satu lingkungan sosial tertentu, jika anak itu mau tumbuh normal dan mengalami proses manusiawi atau proses pembudayaan dalam suatu lingkungan kultural. Selanjutnya kondisi itu menjadi menguntungkan dan positif sifatnya, bila kombinasi dari pengaruh sosial dan potensi hereditas bisa saling mendukung (hukum konvergensi); bisa bekerja sama secara akrab, dan membantu proses realisasi diri dan proses sosialisasi anak. Sebaliknya, kondisi jadi tidak sehat bila perkembangan anak menjadi terhambat ataupun rusak karenanya

2.4 Perkembangan Anak
Aspek fisik dan psikis setiap anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejalan bertambahnya usia mereka. Kemudian terjadi peningkatan fungsi dari berbagai aspek fisik tersebut. Bersamaan itu terjadi perkembangan yang bersifat psikis yang meliputi aspek psikologis dan sosial. Indikatornya adalah, mereka lebih bertanggung jawab, mandiri, mampu beradaptasi, keinginan berkreasi, mengembangkan kemampuan diri hingga kebutuhan untuk engaktualisasikan diri serta keinginan untuk dihargai. Aktualisasi diri dan keinginan dihargai biasanya diperoleh dengan melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan suatu jasa atau karya sehingga mendapatkan suatu prestasi atau prestise yang memuaskan. Untuk mencapai itu semua, orang tua, guru dan lingkungan sangat berperan menumbuhkan kematangan setiap anak (siswa) sehingga ia dapat menemukan konsep diri yang mantap. Lingkungan harus mampu menyulut atau memicu suatu perubahan agar anak mampu menemukan dan mengembangkan konsep dirinya.
1. Perkembangan Kognitif
Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
Menurut teori Piaget, pemikiran anak – anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi – operasi, yaitu :
1. Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan -hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau keadaan yang lain.
2. Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu keadaan.
3. Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda yang ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
Perkembangan Memori
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Matlin (1994) menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting, yaitu :
1. Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulang berkali-kali informasi yang telah disampaikan.
2. Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan memori. Seperti, anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan dimana mereka duduk dalam satu kelas.
3. Imagery (Perbandingan) : Membandingkan sesuatu dengan tipe dari karakteristik pembayangan dari seseorang.
4. Retrieval (Pemunculan Kembali) : Proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali sebuah meori, mereka akan menggunakannya secara spontan.
Perkembangan Pemikiran Kritis
Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.
Perkembangan Kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.
Perkembangan Bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.
2. Perkembangan Sosial
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
Perkembangan Pemahaman Diri
Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.
Perkembangan Hubungan dengan Keluarga
Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial.
Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.


BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pondok pesantren yang disingkat dengan PP merupakan salahsatu lembaga pendidikan yang bergerak diwilayah pendidikan non-formal, biasanya dalam kegiatannya lebih mengarah pada ajaran-ajaran agama. Seperti pengajian tentang fiqih, ta’lim, ahklaq dan lain sebagainya. Cuma biasanya dalam lingkungan pondok pesantren di dalamnya disamping memuat pendidikan formal juga memuat pendidikan nonformal. Kegiatan pembelajaran formal mengikuti kurilulum nasional. Sedangkan kegiatan pendidikan non-formal dilakukan dalam bentuk pengajian (ngaji).
Pengajian menggunakan kitab kuning dan dilakukan di masjid/musholah atau di halaman asrama, dan dipimpin oleh seorang ustadz. Dan biasanya, pengajian tersebut mempelajari kitab kuning11 yang mencakup materi tentang moral (akhlaq), tasawwuf, fiqh, hadist dan tafsir. Referensi akhlaq diambil dari buku akhlâq li al-banât, akhlâq li al-banîn dan ta’lîm wa al-muta’allim. Sedangkan materi fiqh diambil dari buku Kifâyatul Akhyâr, Mabâdi’ al-Fiqh, Fath al-Qarîb, Fath al-Mu’în dan Uqûd al-Lijain. Adapun materi hadist disarikan dari buku, Arbaîn an-Nawâwi, Riyâdh As-Shâlihîn dan Bulûgh al-Marâm. Dan kajian tafsir merujuk pada buku Tafsîr al-Jalâlain dan Tafsîr âyat Ahkâm.
Kitab kuning adalah buku yang tertulis dalam bahasa Arab. Istilah kitab kuning ini digunakan oleh kalangan pesantren karena dulunya kitab tersebut dicetak dengan menggunankan kertas buram berwarna kuning. Untuk memudahkan panggilan referensi Arab tersebut digunakanlah istilah kitab kuning walaupun sekarang ini kitab-kitab tersebut sudah mulai dicetak di atas kertas berwarna putih
Konsep yang dikedepankan dalam pengembangan pesantren adalah ‘al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah” (mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya, bahwa perubahan yang dilakukan dalam pesantren pada umumnya adalah tanpa harus menghilangkan tradisi khas yang harus melekat dengan pesantren. Perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal pendidikan dengan biaya yang terjangkau

3.1 Kekerasan Terhadap Anak dalam Proses Pendidikan PP
Kekerasan terhadap anak (dalam keluarga) dalam tradisi Islam, setidaknya muncul dan dapat dipahami dari sebuah hadist nabi yang artinya, “ajarilah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun. Jika telah mencapai usia 10 tahun dan ia enggan melaksanakan shalat, maka pukullah ia”. Selain itu, doktrin tentang kepatuhan kepada orang tua yang ditempatkan setelah ketaatan kepada Allah sebagaimana yang disinyalir dalam surat Lukman, secara mutlak juga adalah sumber lain bagi munculnya kekerasan terhadap anak.
Dunia pendidikan Islam juga telah memiliki kitab “wasiat” tersendiri yang berisi doktrin tentang kepatuhan atau etika terhadap guru seperti yang termaktub dalam kitab ta’lîm wa al-muta’allim. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, ada yang menganggap bahwa kitab ini adalah salah satu sumber munculnya kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan, yang belakangan ini sudah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan modern. Walaupun demikian tidak bias dipungkiri bahwa dengan berpedoman pada kitab ini, maka akan melahirkan santrisantri yang memiliki kepatuhan yang tinggi
Di kalangan ulama’, doktrin-doktrin tersebut adalah sebuah ajaran bagi umat Islam untuk mendidik anak-anak mereka dalam mengenal Tuhan. Walau demikian, yang mesti ditangkap adalah bahwa ada proses yang membolehkan terjadinya pemukulan terhadap anak (didik) tersebut. Proses tersebut adalah informasi pengetahuan, pelaksanaan informasi, peringatan dan pemukulan. Paling tidak, ada tiga tahap yang harus ditempuh lebih dahulu sebelum sampai pada tahap pemukulan.
Berangkat dari perintah shalat, metode pendidikan seperti di atas, kemudian dikiaskan dalam berbagai lini pendidikan. Khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku (applied attitude). Setidaknya itulah yang tampak dari proses pendidikan yang ada dalam pondok pesantren. Ketika seorang calon santri mendaftarkan diri untuk menjadi warga belajar di Pondok Pesantren, kepada mereka telah diperlihatkan tata tertib dan peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi yang berlaku dalam keberlangsungan kehidupan pondok. Jika mereka dan orang tua/walinya tidak sepakat dengan butir-butir dalam peraturan tersebut, maka sebaiknya mengundurkan diri sejak awal.
Butir-butir peraturan yang ditawarkan dan menjadi semacam kontrak belajar tersebut ditujukan untuk membina dan melahirkan santri-santri yang berkualitas. Namun dalam perjalanannya, kesepakatan tersebut menuai protes dari beberapa orang tua/wali santri yang kurang setuju dengan, hal tersebut, karena dianggap sudah tidak terlalu tepat lagi dengan perkembangan keadaan. Secara dejure, memang telah ada instruksi dari pimpinan pondok untuk tidak melakukan tindak kekerasan bagi para santri (khususnya pemukulan).
Namun secara defacto, kekerasan dalam bentuk pemukulan terhadap santri masih saja terjadi dan tetap berlanjut hingga kini. Keadaan ini masih tetap dipertahankan karena adanya anggapan sebagian besar ustadz bahwa salah satu metode yang paling tepat untuk menanamkan suatu kedisiplinan adalah melalui pemukulan, misalnya. Sebab santri tidak akan “takut” hanya dengan lips service saja. Hal inilah yang membuat tindak kekerasan yang dimaksud masih tetap dipertahankan walau tidak sekeras dulu lagi.

3.2 Bentuk-bentuk dan Pelaku Tindak Kekerasan di PP
Tindakan yang menyertai penanaman kedisiplinan dan dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam proses pembelajaran di Pondok Pesantren dapat disaksikan dalam proses pembelajaran formal maupun non formal. Menurut salah seorang santri, tindak kekerasan dalam proses pembelajaran formal ketika berada di lingkungan madrasah terbatas, yang lebih banyak terjadi adalah pada proses pembelajaran non-formal ketika berada di lingkungan pondok atau asrama.
Ketika terjadi proses pembelajaran formal di madrasah, bentuk-bentuk pelanggaran yang biasa dilakukan oleh santri dan yang seringkali mendapat hukuman adalah:
1. Santri terlambat masuk ruangan belajar
2. Santri tidak mengenakan seragam yang telah ditentukan
3. Santri tidak memperhatikan penjelasan ustadz
4. Santri mengganggu teman atau membuat gaduh dan
5. Santri bolos sekolah.
Untuk bentuk-bentuk pelanggaran seperti yang disebut di atas, maka yang menjadi “hakim” nya adalah ustadz, dengan bentuk hukuman yang beragam mulai dari bentakan, cubitan sampai pukulan dan bahkan digunduli rambutnya bagi yang laki-laki. Dalam proses pembelajaran non formal, yang banyak memegang peranan dalam membantu para pengasuh dan ustadz dalam memantau kegiatan para santri sehari-hari adalah Organisasi Santri. Karena lembaga inilah yang bertanggungjawab bagi keberlangsungan rutinitas santri di pondok Pesantren. Untuk itulah maka Organisasi ini memiliki beberapa departemen yang diterjunkan langsung pada lapangan pesanteren. Antara lain umumnya; Departemen yang paling aktif adalah Departemen Pendidikan/Pengajian, Departemen Bahasa dan Departemen Keamanan, karena ketiga departemen inilah yang banyak berhubungan dengan kegiatan sehari-hari santri. Ini bukan berarti departemen lain tidak memiliki kegiatan.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang biasa dilakukan santri dalam proses pembelajaran non formal dan seringkali mendapat hukuman biasanya banyak berkaitan dengan tugas ketiga departemen (pendidikan, departemen bahasa dan departemen keamanan) tersebut, diantaranya adalah:
3. Santri tidak menggunakan kopiah dalam shalat berjamaah
4. Santri bermain/bercanda di masjid
5. Santri tidak shalat berjamaa’ah
6. Santri terlambat pergi shalat berjama’ah
7. Santri tidak menggunakan Bahasa Arab/Inggris untuk komunikasi.
8. Santri mencuri barang/uang milik teman
9. Santri berkelahi dengan temannya
10. Santri keluar pondok tanpa izin
11. Santri membuat gaduh ketika jam belajar
12. Santri merokok
13. Santri memiliki kecenderungan seksual pada sesame jenis
14. Santri berpacaran
15. Dan lain-lain.
Untuk bentuk-bentuk pelanggaran seperti yang disebut di atas, maka yang menjadi “hakim”nya adalah santri-santri senior dari berbagai departemen yang ditempatkan dalam setiap bagian, dan kalau tidak bisa ditanggulangi oleh para senior ini maka diserahkan kepada ustadz atau pengasuh. Adapun hukuman atau sangsi yang diberikan sangat beragam sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Untuk pelanggaran nomor satu sampai empat adalah tugas departemen pendidikan untuk mengurusnya. Pelanggaran nomor lima adalah tugas departemen bahasa; pelanggatan nomor enam sampai dua belas adalah tugas departemen keamanan. Bentuk hukuman yang diberikan untuk pelanggaran nomor satu sampai nomor sebelas masih berkisar pada cubitan dan pukulan. Sedangkan siswa yang ketahuan berpacaran bisa-bisa dipecat setelah sebelumnya diberikan peringatan dan hukuman seperti cubitan dan pukulan. Untuk memudahkan pembacaan, tabel berikut menjelaskan peta tentang tindak kekerasan sebagaimana dimaksud di atas.
Bentuk dan Pelaku Tindak Kekerasan
Sebab tindak kekerasan/kesalahan santri Bentuk
tindak kekerasan Pelaku tindak
kekerasan Volume terjadinya
Tindak kekerasan
Terlambat ke masjid - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Hampir
setiap hari
Tidak mengenakan kopiah saat shalat/-tidak menggunakan
seragam - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Hampir
setiap hari
Pelanggaran bahasa - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Hampir
setiap hari
Terlambat ke sekolah - dibentak
- dipukul Pengurus/senior
ustadz Hampir
setiap hari
Bolos sekolah - dibentak
- dipukul Pengurus/senior
ustadz Tidak tentu
Keluar tanpa idzin - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Tidak tentu
Mencuri - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Tidak tentu
Merokok - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Tidak tentu
Berkelahi - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Tidak tentu
Kelainan
seksual/homo - dibentak
- dipukul Pengurus/senior Tidak tentu
Berpacaran - dibentak
- dipukul Pengurus/senior
ustadz Tidak tentu

Mencermati fakta dan data yang diperoleh di lapangan seperti paparan di atas, maka diperoleh kenyataan bahwa proses pembelajaran dan pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren apabila ditinjau dari perspektif HAM, masih menggunakan tindak kekerasan dalam menanamkan nilai-nilai terhadap anak, walau dengan alasan apapun penerapannya merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang dicanangkan oleh pemerintah sekaligus pelanggaran terhadap hak anak.
Selain itu, rupanya kesempatan ini banyak digunakan oleh para santri senior untuk untuk unjuk gigi dan membalas perlakuan yang pernah mereka dapatkan dari seniornya dahulu. Jika ini yang terjadi, maka apa yang ingin ditanamkan kepada santri melalui proses hukuman bisa berhasil karena adanya rasa takut dan bisa juga tidak berhasil, karena keseluruhan proses hukuman tersebut bisa dimaknai sebagai penyiksaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh para santri. Bagi sebagian orang tua/wali santri dan juga beberapa orang santri sanksi yang diterapkan dalam kehidupan pondok tetap saja merupakan hukuman yang mengarah kepada tindak kekerasan terhadap anak. Sedangkan bagi pihak pondok pesantren terutama santri senior dan beberapa orang ustadz, penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh santri merupakan hukuman yang bersifat mendidik atau lebih dipahami sebagai sebuah metode pembelajaran dan bukan tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh para ahli pendidikan bahwa yang termasuk kategori tindakan mendidik adalah hadiah, pujian, teguran, hukuman dan nasihat.
Dengan demikian hukuman sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh santri dapat dibenarkan dari satu sisi dan bisa juga disalahkan. Karena, seperti pendapat Purwanto, bahwa pujian lebih efektif daripada hukuman. Karena hukuman hanya bersifat menghentikan perbuatan, sedangkan pujian bersifat menghargai apa yang telah dilakukan.

3.3 Dampak Tindak Kekerasan terhadap Santri
Dampak dari proses pembelajaran yang menggunakan tindak kekerasan (hukuman dalam berbagai bentuknya) sebagai salah satu metode, dapat dilihat dari segi jangka pendek dan jangka panjang. Secara jangka pendek, dampak yang dapat terjadi adalah kerugian yang bersifat fisik dan psikis, seperti hasil penelitian Suyanto dan Sanituti, bahwa dampak fisik adalah semua kerusakan yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan yang dilakukan pada bagian fisik-biologis anak. Biasanya, kekerasan fisik yang seperti ini langsung terlihat nyata oleh panca indra. Adapun dampak psiskis adalah dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak yang berakibat pada gangguan jiwa; rasa takut, minder, malu, over acting dan lain sebagainya.
Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibatlahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. Dan diperkirakan para ustadz yang juga jebolan pesantren, belajar tindak kekerasan dari pengalaman masa lalu mereka. Maksudnya mereka bisa berhasil menjadi “orang baik” seperti sekarang ini karena metode pendidikan yang diterapkan oleh ustadznya dulu. Lalu kenapa sekarang tidak diterapkan saja dalam mendidik para santri?
Dampak lain dari tindak kekerasan atau hukuman kepada para peserta didik adalah tertanamnya jiwa yang keras dan ingin menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan kekerasan. Karena bagaimanapun, pengalaman anak dalam dunia pendidikan akan mewarnai perilaku anak dalam menyelesaikan masalahnya. Demikianlah kalau tindakan kekerasan tetap dipertahankan dalam proses pembelajaran, maka kondisi ini akan menjadi lingkaran setan yang tiada berujung. Ironis sekali dengan maksud dan tujuan pendidikan pada khususnya dan tujuan Islam pada umumnya. Yaitu lahirnya manusia-manusia taqwa yang memiliki karakter tinggi serta memiliki unsur moral dan etika, estetika, serta rasa tanggungjawab sebagai manusia, sehingga dapat hidup bersama dan tolong-menolong dengan sesama manusia lainnya.
Kalau dikaji lebih mendalam, pemilihan metode atau strategi dalam proses pembelajaran terutama penanaman nilai-nilai seringkali dihadapkan pada kondisi yang serba dilematis. Ada kalangan yang berpendapat bahwa tindak kekerasan diperlukan dan memang ini seringkali berhasil walau peserta didik berada di bawah tekanan perasaan. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak diperlukan tindak kekerasan dalam proses pembelajaran. Ini kadang berhasil dan kadang juga tidak berhasil. Memang sukar dibedakan tindak kekerasan sebagai sebuah metode pembelajaran dan tindak kekerasan sebagai sebuah hukuman. Nampaknya apa yang dikategorikan sebagai hukuman terhadap pelanggaran peraturan dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di pondok pesantren dapat dilihat sebagai tindak kekerasan terhadap santri sekaligus juga bukan sebagai tindak kekerasan. Dikategorikan tindakan kekerasan apabila menggunakan perspektif HAM, namun jika dilihat dari perspektif pendidikan, maka hukuman yang diberikan masih termasuk kategori wajar, sebab dalam dunia pendidikan reward dan punishment adalah hal yang diperbolehkan untuk merespon tindakan positif atau negatif peserta didik.
Menyikapi tindak kekerasan berupa pemukulan yang masih dilakukan oleh beberapa ustadz dan juga santri senior sebenarnya pihak pimpinan tidak tinggal diam. Kepada para ustadz dan juga para santri senior telah diberi peringatan untuk tidak melakukan tindak kekerasan kepada santri, bahkan sudah pernah terjadi pengusiran terhadap dua santri senior yang telah melakukan pemukulan yang melampaui batas. Dan kalaupun sekarang masih terjadi juga itu sebenarnya bukan sikap resmi pondok pesantren tetapi lebih bersifat pribadi dan merupakan kekhilafan manusia. Menghadapi dilema dalam pemilihan metode bagi proses pembelajaran, perlu kiranya seorang pendidik untuk lebih mengenal karakteristik para peserta didiknya secara lebih mendalam, supaya dapat bertindak tepat dengan metode yang tepat dan orang yang tepat. Di sinilah nilai pentingnya untuk mengetahui Psikologi yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik dan juga Psikologi Belajar.

1 komentar:

  1. Boleh tahu, penelitihan ini dilakukan di pondok pesantren mana saja? Bagaimana dengan kasus di ponpes modern, apakah juga sama dengan PP tradisional?

    Terima kasih
    Harti
    Yogyakarta

    BalasHapus