Sabtu, 09 April 2011

Psycological Treatments For Social Phobia

Tujuan: mereview status empiris treatment-treatment psikologi untuk pobia sosial (SP), mengulas intervensi-intervensi kognitif-behavioral dan ulasan beberapa yang lain dari pendekatan-pendekatan tersebut. Kami juga mereview komponen-komponen efektif dari kognitif behavioral terapi (CBT).

Metode: secara kualitatif, kami mereview literatur empiris dalam treatment psikologi SP. Kami menyertakan studi empiris, meta analisis dan persentasi-persentasi terbaru dalam review ini.

Hasil: Intervensi-intervensi kognitif dan behavioral untuk SP muncul untuk efektivitas yang lebih dari sekedar daftar tunggu kontrol dan terapi yang mendukung. Perbandingan CBT dan treatment farmakologi telah menghasilkan hasil yang inkonsisten. Beberapa treatment baru untuk SP menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Kesimpulan: fakta-fakt yang mengungkap bahwa beraneka treatment psikososial untuk SP lebih baik dari daftar tunggu kontrol dan intervensi plasebo yang dipercaya. Proyek yang masih berlangsung menyelidiki kekuatan relatif dari kombinasi treatment sosial dan medis melalui monoterapi; penelitian semacam ini penting untuk dilanjutkan. Penelitian-penelitan berikutnya sebaiknya juga berfokus pada komponen-komponen CBT yang paling efektif.

Fobia Sosial

Fobia sosial (SP) adalah gangguan yang sangat berpengaruh dan merugikan. Dalam beberapa tahun belakanngan, terdapat beberapa saran tritmen-tritmen psikologi untuk SP. Perhatian yang lebih banyak dicurahkan pada tritmen-tritmen kognitif-behavioral; upaya-upaya penelitian telah difokuskan untuk mengevaluasi tritmen ini dan juga pada komponen CBT yang paling efektif. Baru-baru ini, para peneliti mulai melirik kombinasi tritmen-tritmen untuk gangguan ini sebaik dan seinovatif strategi-strategi tritmen. Kami mereview status empiris tritmen-tritmen psikologi untuk SP, mengulas intervensi-intervensi kognitif-behavioral dan beberapa ulasan-ulasan baru atas pendekatan-pendekatan ini.

SP dikarakteristikan sebagai sebuah ketakutan intens atas keadaan-keadaan memalukan, penghinaan, atau penyelidikan orang lain dalam situasi-situasi sosial (1). Beberapa situasi yang ditakuti oleh orang-orang yang memiliki SP diantaranya menghadiri pesta, bertemu orang asing, berbicara pada saat pertemuan, atau interaksi dengan figur-figur yang memiliki kuasa. Jumlah situasi yang ditakuti orang-orang yang memiliki SP bervariasi per indvidu. Beberapa terfokus pada situasi-situasi tertentu, atau bahkan hanya pada satu bagian situasi (misalnya berbicara di depan umum), sementara yang lain mengindikasikan ketakutan terhadap banyak situasi-situasi sosial. Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa pengaruh seumur hidup SP berkisar antara kurang dari 3% (2) sampai lebih dari 13% (3), dengan beberapa penyelidik yang berpendapat bahwa 7% adalah perkiraan rasional (4). SP telah didemonstrasikan memiliki efek-efek yang signifikan terhadap kualitas kehidupan (5) dan merugikan sistem kesehatan.

Beberapa model psikologi dari SP baru-baru ini telah muncul sehingga melengkapi konsep demi mendapatkakn pemahaman atas perkembangan dan kelestarian gangguan ini. Model-model ini juga menginformasikan tritmen-tritmen psikologi dan psikososial untuk SP. Secara singkat kami mereview empat model ini, termasuk diantaranya yaitu dua model kognitif, sebuah model presentasi diri SP, dan review profil perkembangan SP akhir-akhir ini. Kami juga menggambarkan dan mereview fakta-fakta untuk tritmen-tritmen psikologi dari gangguan ini, yaitu yang strategi-strateginya diambil sebagian dari model-model yang telah direview.

Model-model SP

Model kognitif dari SP sebagian berdasarkan pada sebuah penelitian signifikan yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kecemasan sosial memproses informasi dengan cara yang berbeda dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial. Model Clark and Wells menyatakan bahwa orang yang memiliki SP menganggap penting pada pembuatan kesan yang berbeda-beda terhadap orang lain, mereka juga percaya bahwa mereka tidak mampu bersikap dengan baik dalam situasi-situasi sosial (7). Maka dari itu, orang-orang yang memiliki SP menggunakan sikap yang berbeda dengan sengaja demi melindungi diri mereka dalam situasi yang menakutkan, yang sayangnya sering gagal membantu. Sesungguhnya, sikap ini justru memperburuk dan mempertahankan kecemasan. Sikap-sikap tersebut termasuk penguatan, perhatian terhadap diri, termasuk perhatian terhadap sisi internal seseorang; menunjukkan dirinya dengan menggunakan prespektif pengamat; berlebihan dalam perilaku pengamanan; dan antisipasi yang terbias dan postevent processing. Ketika berada dalam situasi sosial, orang yang memiliki kecemasan akan penampilan mereka dimata orang lain berpikir untuk lebih memperhatikan diri mereka, mengabaikan manfaat dan perlunya isyarat sosial dari orang lain. Perasaan ini diperkuat oleh adanya sensasi fisiologis kecemasan (misalnya jantung yang berdebar-debar atau merah karena malu). Pergeseran perhatian, orang-orang yang memiliki SP membangun image-image negative atas diri mereka, berdasarkan kepada apa yang orang pikir dan rasakan ketika melihat mereka. Bias lebih lanjut terlihat pada antisipasi orang-orang (aku akan meluapkannya) dan refleksi atas (“aku sungguh melewatkannya”) event-event sosial. Perilaku-perilaku pengamanan adalah variasi strategi yang digunakan orang untuk melindungi diri mereka dan untuk menghindari “bencana” pada situasi-situasi social (misalnya overrehearsing apa yang orang akan katakan danmenggunakan make up untuk menutupi merah karena malu). Sekali lagi, perilaku yang secara sengaja membantu simptom-simptom kecemasan sesungguhnya menciptakan masalah-masalah selanjutnya dengan melalui pembatasan interaksi sosial, memperburuk simptom-simptom kecemasan, dan mencegah diskonfirmasi belief-belief negatif.

Rapee dan Heimberg juga menekankan mengubah pengolahan informasi pada model kognitif-behavioral SP mereka, mereka mengungkap bahwa orang-orang yang memiliki SP menunjukkan bias-bias perhatian terhadap stimuli ancaman sosial (8). Dalam model mereka, mereka menyoroti pentingnya kenyataan atau pengamatan audien terhadap timbulnya simptom-simptom kecemasan sosial. Sekali seseorang percaya bahwa dia sedang dievaluasi dan bahwa harapan audien adalah tinggi (tidak peduli terhadap apakah hal itu benar secara objektif), perhatian diarahkan pada memonitor lingkungan akan umpan balik evaluatif sosial (misalnya reaksi orang lain). Dan kemunculan diri pada sebuah situasi sosial. Memperlihatkan bias-bias dalam pengolahan informasi dan ambigu alami yang melekat pada banyak situasi sosial, orang-orang yang memiiki SP terfokus pada ancaman sosial dan sering salah mempersepsikan ancaman dalam situasi sosial. Persepsi tersebut hanya muncul untuk membesar-besarkan dan menambah level kecemasan.

Teori presentasi diri kecemasan sosial juga mengungkapkan bahwa kecemasan sosial akan tetap ada jika seseorang termotivasi untuk membuat kesan khusus akan orang lain tetapi ragu akan kemampuan mereka untuk melakukannya(9, 10). Bagaimanapun ini berbeda dari model-model diatas dalam hal ide bahwa individu mungkin berharap untuk memberikan kesan sosial yang positif, kesan negatif, atau sesuatu diantaranya. Dengan kata lain, model ini mengungkapkan bahwa seseorang tidak perlu berharap untuk membuat kesan yang baik atau menghindari penolakan (walaupun hal ini ungkin merupakan hasrat yang paling umum). Jika kesan itu tidak dibuat secara keseluruhan, orang itu akan mengalami kecemasan. Misalnyaseseorang yang ingin membuat sebuah kesan yang baik dimata orang lain dan seseorang yang ingin masuk dalam sebuah kelompok sosial mungkin akan merasa cemas, meskipun jika dia merasa disukai orang lain tetapi tidak cukup disukai untuk menjadi anggota kelompok tersebut. Motivasi untuk mendapatkan kesan khusus adalah tabiat yang unik (misalnya beberapa orang termotivasi untuk menghindari penolakan, dimana yang lain termotivasi untuk membuat orang lain terkesan), dan tidak mendapatkan kesan yang memiliki implikasi yan tidak baik untuk level kecemasan.

Pada review belakangan, Neal dan Edelmann menghasilkan sebuah profil perkembangan seseorang yang memiliki SP berdasarkan penelitian terhadap kunci perkembangan dan interpersonal pembangun pemikiran penting terhadap gangguan (11). Mereka mengungkapkan bahwa beberapa anak yang terlahir dengan kerentanan terhadap kerentanan ketika menanggapi variasi stimuli lingkungan dalam domain sosial dan bahwa anak-anak inilah yang memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan SP. Bagaimanapun para ahli berpendapat bahwa beberapa perbedaan dalam stabilitas hambatan perilaku mengungkapkan bahwa keluarga dan interaksi teman sebaya juga mempengaruhi level kecemasan sosial. Studi-studi mengungkapkan bahwa para orang tua anak-anak yang terhambat dan pemalu mungkin over protektif, lebih sensitif dan malu, dengan para ayah yang memiliki anak-anak SP mengenang bahwa anak-anak dewasa mereka (khusunya anak-anak perempuan) telah ditolak dan bahkan mungkin dicaci maki (12). Selanjutnya, penelitian ini mengungkap bahwa sebagaimana anak-anak memulai interaksi dengan teman sebaya, pada mulanya malu atau pasif dapat ditoleransi sampai masa remaja namun kemudian pada akhirnya ditolak. Hal tersebut yang diungkapkan bahwa hambatan perilaku dimana anak yang lahir dengan interaksi yang kuat dengan keluarga dan teman sebaya berpengaruh pada munculnya kerentanan terhadap perkembangan SP (12).

Treatment-Treatment Psikologi

Terdapat beberapa treatment empiris SP yang mendukung, termasuk pendekatan farmakologi dan fisiologi. Review pendekatan treatment farmakologi untuk kecemasan sosial, lihat Davison (13) atau Antony dan Swinson (14) faktor-faktor berdasarkan treatment fisiologi untuk SP termasuk terapi-terapi pembukaan, treatment-treatment kognitif, aplikasi relaksasi, dan platihan keterampilan sosial (SST). Sebagai tambahan, penelitian terbaru telah terfokus pada penggunaan psikoterapi interpersonal (IPT), pelatihan perhatian, dan terfokus pada strategi-strategi treatment. Treatmen-treatment psikologi juga telah dikombinasikan dengan farmakoterapi. Kami mereview setiap strategi treatment-treatment ini dan fakta-fakta kekuatannya.

Terapi Kognitif-Behavioral

CBT adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam psikologi berkaitan dengan kasus fobia sosial. Terapi ini biasanya digabungkan dengan teori kognitif untuk mengubah jalan pikiran yang salah, walaupun sebagian besar teori CBT lebih dititik beratkan pada teori kognitif dan pengalaman perilaku daripada mengekspresikan kecemasan secara tepat. Penggunaan exposure in vivo didasarkan pada model dari pengembangan rasa takut mencangkup sifat yang dapat dipelajari dari ketakutan-ketakutan tertentu. (16) dan menghindari stimulus tertentu untuk mengatasi kecemasan. Dalam terapi kecemasan social, klien mengembangkan satu bentuk peluapan dari kecemasan social. Dan pada tahap selanjutnya klien membentuk hirarki situasi yang menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil sampai situasi yang paling menakutkan (menuliskannya dalam daftar situasi yang dapat menimbulkan rasa cemas ). Hirarki ini digunakan sebagai sebuah panduan. Klien didorong untuk mengulang dan secara sistematis mengungkapkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan rasa takut. Merasakan situasi itu sampai kecemasannya dapat menurun. Peluapan kecemasan dalam terapi ini juga bisa menggunakan teknik role play (bermain peran) yang dibantu oleh ahli terapis atau grup. Tehnik role play dapat menjadi stimulus awal terhadap peluapan kecemasan invivo, dimana mereka telah dilatih ketrampilan tertentu sebelum menerapkan tehnik ini dalam menciptakan kondisi yang mereka rasa dapat mengancam.

Efek terapi ini yang sudah dikenal luas dengan model-model teori terbaru dari kecemasan sosial, hal ini telah meningkatkan minat untuk menggunakan teori kognitif dalam kasus kecemasan social. Terapi kognitif membantu klien mengidentifikasi dan mengontrol bentuk-bentuk dari cara kebiasan berfikir (interpretasi negative dari keadaan normal atau sulit) kemudian melawan pikiran yang menyimpang dan mencari solusi alternative untuk menginterpretasikn suatu kondisi atau kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif,

Menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang.

Hasil penelitian membuktikan bahwa CBT merupakan terapi yang bagus untuk kasus pobia social. Beberapa meta analysis menunjukkan bahwa berbagai bentuk CBT lebih efektif dibanding wait-list controls. Dan pengaruh dari bentuk komponen-komponen CBT mempunyai perbedaan yang signifikan dari angka nol. Contoh, sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan, ukuran pengaruh untuk setiap varian dari CBT telah berubah antara 0.80 dan 1.08 dalam pengukuran kasus fobia social. (17-20). Pembelajaran jangka panjang dari terapi peluapan ini menyarankan untuk memenuhi terapi dengan lengkap (21) bahkan terapi CBT secara individual dalam jangka pendek (antara 4 sampai dengan 8 sesi terapi; 22) dan kelompok jngka pendek CBT (6 sesi; 23) memberi banyak manfaat karena meningktkn gejala2 SP. Meski varian dari CBT diharapkan dapat lebih efektif dibanding placebo atau wait-list controls. Komponen dari CBT jauh lebih efektif dibandingkan terapi alternative. Kita dapat mereview ulang literature ini.

CBT vs Terapi Suportif

Kemunculan CBT menjadikan terapi suportif lebh unggul. Heimberg dan para ahli lainnya membandingkan kelompok CBT dengan suatu grup psikoterapi yang mengutamakan pendidikan dan diskusi (24), meski kedua kelompok tersbut menunjukkan perbaikan setelah diberikannya perlakuan dalam terapi dan tindak lnjutnya. Para partisipan yang menyelesaikan grup CBT lebih baik dibanding dengan grup dalam terapi suportif. Dan mereka menindak lanjuti selama 5 tahun (25).

Akhir pekan ini, Cottraux dan para ahli lainnya membandingkan CBT (meliputi terapi kognitif, pelatihan ketrampilan social, dan latihan dalam mengekspresikan rasa cemas secara tepat dan bagaimana mengontrolnya) dengan menggunakan terapi suportif.

Walaupun kondisi pengobatan tidak tepat waktu didalam pendampingan dari ahli terapis (klien dengan menggunakan terapi CBT lebih memiliki banyak kesempatan bersama ahli terapi), grup2 CBT mendemonstrasikan pengeluaran superior terhadap kelompok terapi suportif. Ketika para klien yang pada awalnya diterima terapi suportif dipindah ke CBT, mereka mengalami perubahan2 penting sebagai tambahan terhadap terapi suportif.

Terapi coginitif vs Exposure

Kerelatifan dari terapi kognitif (CT) dan peluapan rasa cemas kurang mengena secara langsung, dengan kajian2 yang menyatakan beberapa akibat yang berlawanan. Suatu metaanalyses oleh fedorroff dan taylor menyatakan tidak ada perbedaan antara beberapa terapi psikologis untuk kecemasan social, termasuk tehnik pengekspresian rasa cemas dan teknik kognitif. Bagaimanapun juga, metaanalisis ini , mengkaji CT dan peluapan (18). Perbandingan keduannya memang setara, bahkan lebih efektif dibanding (30,31), kombinasi antara kedua tehnik tersebut. Suatu metaanalyses mengusulkan bahwa satu teori peluapan, ntah dilakukan secara individual atau dikombinasikan dengan terapi kognitif, perubahan dengan menggunakan terapi akan jauh lebih efektif dibanding dengan menggunakan restrukturisasi kognitif secara individual (20). Dan sebaliknya, hasil2 lain sudah dapat dinyatakan bahwa terapi yang dikombinasikan adalah terapi yang paling efektif untuk kasus kecemasan social.

CT vs Terapi Asosiatif

Beberapa pengarang sudah menyatakan bahwa manfaat dari terapi kognitif bisa berhasil bila digabungkan dengan peluapan dalam terapi CT. Sebagai contoh, Taylor dan para ahli mengaku bahwa CT melibatkan suatu wujud dari peluapan imaginasi, ketika pasien menceritakan situasi yang mencemaskan, dan peluapan in vivo, ketika klien mengungkapkan pikiran cemas dan perasaannya di depan terapis (35). Untuk menguji apakah keuntungan CT hanyalah karena bagian dari peluapan, para ahli membandingkan CT murni (tanpa menyertakan instruksi peluapan in vivo) dengan suatu intervensi yang disebut terapi asosiatif. Intervensi ini melibatkan klien untuk membebaskan rasa cemas pada pikiran dan memori interaksi sosial yang telah dilakukan, dan meluangkan waktu untuk mendiskusikan tentang kejadian sosial dan menyatakan pemikiran pribadi. Dari hasil tersebut ternyata CT lebih efektif dibanding terapi asosiatif di beberapa hasil variabel, menyatakan bahwa teori CT tidak bisa dipisahkan dari terapi peluapan.

CT vs Pengobatan

Riset yang membandingkan CBT dengan terapi bersifat samar. Beberapa studi secara langsung membandingkan CBT dengan Pengobatan, dan beberapa studi yang menggunakan Pengobatan tidak lebih efektif dibanding plasebo di dalam [memberikan perlakukan] SP, yang menyumbangkan hasil yang belum sepenuhnya selesai. Sebagai contoh, sebuah studi membandingkan terapi berbasis peluapan (in vivo dan imaginal pengunjukan) dengan beta-blocker atenolol, mereka bergantian secara acak dan para ahli menugaskan orang-orang tersebut selama 3 bulan untuk mengawasi klien dengan kasus SP dengan menggunakan terapi peluapan secara individu, atenolol, atau plasebo (36). Bukti telah menyarankan superioritas yang jelas dari terapi peluapan, dibandingkan dengan placebo, dan telah menunjukkan superioritasnya pada keseluruhan atenolol pada ukuran pengeluaran tertentu. Bagaimanapun, atenolol tidak jauh berbeda dari kebanyakan hasil pengukuran, membuatnya sulit untuk disimpulkan keefektivitasannya yang relatif dari peluapan dibanding dengan terapi ini. Dengan cara yang sama, Osterbaan dan para ahli menemukan bahwa keunggulan pada plasebo dalam beberapa studi sebelumnya tapi yang bukan plasebo lebih pandai daripada didalam study (37). Jadi, Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah bahwa peluapan dan CT lebih baik daripada plasebo.

Federoff dan metaanalyses, menyatakan bahwa hasil benzodiazephines adalah terapi yang paling efektif untuk fobia sosial, sedikitnya pada jangka pendek (18). Bagaimanapun, hasil yang berbeda ditampakkan dalam studi kasus oleh Heimberg dan para ahli, di mana CBT dan Phehelzine (suatu penghambat monoamina oksidase) efektif di dalam [perlakukan] SP diatas suatu periode 12-minggu (38) dan CBT memberikan keberhasilan dalam jangka panjang (39). Dengan cara yang sama, dalam studi ksus tidak ditemukan perbedaan hasil antara kelompok CBT dan peluapan (40 klonazepam) atau antara kelompok CBT dan phenelzine ditambah dengan peluapan alprazolam lebih pada diri sendiri (41). Gould dan para ahli metaanalysis juga mengusulkan pengaruh ukuran yang serupa untuk CBT, yang dibandingkan dengan terapi pharmacologic (20).

Pelatihan Keterampilan sosial

Pelatihan Keterampilan Sosial (Social Skill Training – SST) merupakan antisipasi terhadap kecemasan sosial yang membuat keterampilan sosial tidak berkembang. Klien menerima instruksi langsung, baik dalam hal keterampilan verbal maupun non verbal (misalnya kontak mata, nada, dan volume bicara, keterampilan percakapan, dan pelatihan asertif). Keterampilan juga diperoleh melalui penyusunan model oleh terapis dan penerapan keterampilan dalam kehidupan klien.

Penelitian secara umum menyatakan bahwa SST sangat membantu dalam menghadapi kecemasan sosial, meskipun belum jelas apakah SST lebih baik dari pada daripada kondisi placebo dan keuntungan apa yang didapat dari follow up jangka panjang. Dalam suatu studi, hasil ekivalen antara SST dengan terapi rasional emotif (tipe CT), setelah treatment (43) kegiatan lanjutan (44) bahkan ketika pasien lebih baik dialokasikan terhadap tipe terapi berdasarkan klasifikasi sebagai reaktor kognitif atau perilaku. Bersamaan dengan hal tersebut , SST terlihat efektif saat pengamatan (45) atau penyusunan kognitif (17), walaupun kemungkinan SST kurang efektif dibandingkan treatment placebo yang handal (17). Meskipun individu menerima CBT setelah mempertahankan perkembangan keterampilan mereka, atau bahkan kemudian keterampilan tersebut berkembang setelah adanya tindak lanjut dalam jangka panjang, yang terbukti dalam efektivitas jangka panjang SST (46)

Studi terbaru membandingkan efektivitas kelompok CBT dengan menambahkan SST dengan kelompok standar CBT (Herbert, Januari 2004, personal communication). Hasil dari percobaan ini menemukan bukti yang signifikan untuk penggabungan treatment pada kelompok standar CBT. SST tersebut lebih sedikit membantu daripada bagian dari penggabungan keterangan.

Meskipun SST menunjukkan bukti efektivitas dalam ST, hal tersebut tidak memastikan bahwa orang dengan gangguan tersebut memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial. Kenyataannya, penelitian menyatakan bahwa banyak orang dengan kecemasan sosial mengasumsikan bahwa diri mereka memiliki kesan yang buruk daripada yang sesungguhnya mereka lakukan (14) dan mereka menilai kemampuan mereka dalam berbicara di depan publik lebih buruk daripada mengamati dan meneliti (47,48). SST dapat bekerja dengan memotivasi penggunaan keterampilan sosial atau mendukung pengungkapan (exposure) terhadap situasi sosial melalui permainan peran (role play) dan praktek di kehidupan nyata. Satu studi menemukan bahwa keuntungan SST terhadap instruksi pengungkapan penghapusan CBT dari kelompok CBT, memberikan kemungkinan bahwa bagian dampak SST yang superior meningkat dari komponen pengungkapan (49). Sesuai dengan deviasi dari model defisit, Stravynski dan rekan menemukan dukungan untuk tipe SST yang memfokuskan pada peningkatan hubungan sosial (50). Rangkaian kasus pasien 5 SP bermakna untuk peningkatan dalam gejala dari 4 hingga 5 pasien yang dirawat dengan langkah lanjutan selama 2 tahun.

Aplikasi Relaksasi

Aplikasi relaksasi bertujuan untuk memerangi dampak psikologis dari kecemasan sosial. Pasien diberikan serangkaian instruksi atau relaksasi otot progresif, petunjuk relaksasi pengendalian , dan keahlian yang perlu dikembangkan dalam situasi sosial (yaitu, pelatihan relaksasi yang dikombinasikan dengan terapi pengungkapan). Hasil menyatakan bahwa relaksasi lebih baik daripada pengendalian kondisi ‘daftar tunggu’ untuk perlakuan SP (51) dan memberikan perkembangan yang sama (52) atau pengembangan lebih baik (53), dibandingkan dengan SST. Bagaimanapun hasil tersebut samar-samar, yaitu apakah aplikasi relaksasi menunjukkan dampak yang lebih unggul terhadap perlakuan alternatif ketika pasien disesuaikan dengan treatment dengan gaya respon (yaitu reaktor fisiologis vs kognitif). Beberapa studi menyatakan bahwa treatment yang disesuaikan memberikan fungsi akhir yang lebih bagus (52), dimana yang lain menyatakan bahwa CT lebih bagus terhadap relaksasi, bahkan ketika peserta disesuaikan dengan treatment (51).

Pelatihan Fokus Perhatian

Dari teori dan bukti bahwa fokus perhatian-diri adalah karakteristik SP dan dapat membantu mempertahankan simptom (7,54), beberapa pengarang meneliti manfaat dari pelatihan fokus perhatian, yang mana juga disebut, Task Concentration Training (TCT) untuk treatment SP. Dalam perlakuan ini, individu diajarkan untuk penggunaan perhatian yang jauh dari diri mereka dan terhadap obyek eksternal dimulai dari stimuli netral dan kemajuan terhadap stimuli yang memicu kecemasan.

Mulkens dan rekan-rekannya menggambarkan prosedur ini memiliki tiga tahap : (1) memahami fokus perhatian diri ; (2) memfokuskan perhatian di luar situasi yang mengancam dan (3) memfokuskan perhatian pada situasi yang mengancam (55).

Misalnya, individu didorong untuk memfokuskan diri pada suara dalam ruangan yang mana merupakan suara terapis terhadap status psikologisnya, pasien memulai perlakuan di kantor terapis sebelum menggunakan keahlian ini dalam situasi sosial. Studi kasus yang mendukung penggunaan TCT atau pelatihan perhatian untuk treatment tingkat kecemasan serta tingkat kepercayaan dari orang-orang dengan SP (56) dan orang dengan SP yang takut akan rasa malu. Misalnya, Bogels dan rekan-rekannya menyajikan studi kasus individu yang takut akan rasa malu di depan orang lain, secara signifikan berhasil dikurangi dengan TCT (57,58). Tetapi belum jelas apakah hasil yang diinginkan dapat diperoleh dari TCT dan tidak melalui terapi pengungkapan.

Pada satu studi kasus, klien yang diberikan instruksi TCT dan pengungkapan serta menggunakan masing-masing teknik secara independen berkaitan dengan fase perawatan (55). Hasil yang diharapkan adalah, pengungkapan lebih efektif dari TCT dalam mengurangi rasa takut akan rasa malu, dan kedua, klien menggunakan TCT selama berminggu-minggu ketika ia seharusnya menggunakan metode murni.

Tidak jelas bahwa ini merupakan kombinasi antara pengungkapan dan TCT atau komponen lain dalam isolasi yang membantu klien ini. Untuk menjawab pertanyaan ini, Mulken dan rekan melakukan percobaan random yang membandingkan pengungkapan TCT pada pasien dengan rasa takut malu (58).

Meskipun TCT tampak memiliki keuntungan kecil pada pasca perawatan dan kegiatan lanjutan selama 6 minggu, kegiatan lanjutan 1 tahun mengungkap bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara efektivitas kelompok. TCT tampak lebih unggul dan memiliki dampak serupa dengan metode pengungkapan untuk orang yang takut akan rasa malu.

Strategi Kombinasi

Dalam praktek klinis, pasien yang diberikan terapi medis dan psikologis merupakan hal yang lumrah. Maka dari itu penting untuk mengetahui apa manfaat dari terapi gabungan atau kombinasi terapi bagi SP (social Phobia/pobia sosial). Seperti yang dijelaskan diawal, penelitian dilakukan dengan membandingkan kombinasi medis dan mono-terapy. Seperti yang ditunjukan oleh Heimberg, bahwa kombinasi medis dan psiko-terapy dapat menghasilkan beberapa efek (59). Pertama, kombinasi terapi dapat lebih berdaya guna dari pada mono-terapy, dengan melihat pada sinergitas pengaruh yang ada. Kemudian, melakukan terapi lanjutan yang dimulai dengan terapi medis merupakan usaha yang sangat berguna bagi pasien yang tidak mampu melakukan tes terapi psikologis seperti CBT, yang disebabkan adanya gejala gelisah yang berlebihan.

Namun demikian, kombinasi terapi tidak mempunyai manfaat apapun jika terapi CBT dan medis dilakukan dalam mekanisme yang sama atau jika keduanya mampu memberikan perubahan yang signifikan kepada pasien (59). Hasil awal dari study Foa dan Davidson mendukung ide yang muncul kemudian: mereka mengatakan tidak ada manfaat dari kombinasi terapi melebihi mono-terapy dalam skala percobaan yang lebih luas (42). Sebaliknya, Blomhoff dan data yang dimiliki koleganya menyatakan bahwa kombinasi sertraline dan exposure menunjukan kecenderungan terhadap kuatnya daya exposure itu sendiri, meskipun pengaruhnya meningkat melalui adanya Follow-up (60), seedangkan sertraline dengan kombinasi terapi menunjukan penurunan pada saat follow-up (61). Selanjutnya, data-data Heimberg dan Liebowitz mengungapkan adanya keuntungan atau manfaat pada kombinasi phenelzine dan kelompok CBT diatas terapi-terapi lain yang berjalan sendiri (dengan kombinasi CBT dan Phenelzine pada kadar tertentu) (62). Oleh karena itu, sebenarnya menarik untuk mempertanyakan kembali kelengkapan atau kesempurnaan dari kedua percobaan terapi tersebut.

Strategi Inovatif

Terkait dengan terapi yang digambarkan diatas, ada peningkatan dalam penggunaan terapi baru atau cara inovatif pada standart terapi untuk masalah pobia sosial. Pada bagian ini, kita ingin melihat kembali dari beberapa terapi dan strategi yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan harapan memperluas daftar-daftar terapi yang efektif untuk pasien. Satu tren pada tahun ini adalah mengaplikasikan terapi yang efektif terhadap pasien SP dan juga untuk penyakit psikis yang lain. Misalkan, IPT—merupkan sebuah terapi yang cukup efektif untuk penderita depresi—telah diterapkan kepada pasien SP dalam terapi percobaan. IPT fokus terhadap peningkatan relasi beberapa faktor yang ada dalam kehidupan pribadi pasien. Bagian dari terapi IPT ini melibatkan domain ujian 1-4 yang berhubungan dengan pribadi pasien: kesedihan akut, perselisihan, keadaan transisional, atau masalah isolasi sosial. Aplikasi dari terapi IPT terahadap pasien SP, tidak terlalu mengejutkan, ciri-ciri utama yang ada pada si penderita adalah ketakutan terhadap adanya penilaian negatif dari orang lain dan perhatian utama diarahkan pada persoalan penilaian dari orang lain, yang sering kali melibatkan adanya persoalan-persoalan pribadi. Satu-satunya percobaan terapi IPT terhadap pasien SP ini mendapatkan hasil yang positif, dengan indikasi kebanyakan pasien menunjukan peningkatan yang signifikan melalui gejala-gejala yang ada (63). Namun demikian ada yang berpandangan bahwa keuntungan IPT berada pada seputar tujuan terapi dalam meningkatkan interaksi dan palatihan ketegasan—tujuan yang berisi elemen-elemen SST dan exposure. Sebenarnya hal ini masih belum jelas, apakah semua orang penderita SP akan mampu mengidentifikasi tujuan terapi khusus yang berhubungan dengan bagian terapi IPT yang telah di list diatas atau tidak. Penelitian membandingkan IPT dengan pembuktian terapi seperti exposure atau CBT merupakan hal yang penting disini.

Peneliti juga mulai menanyakan penggunaan metode meditasi (perenungan) sebagai sebuah strategi terapi untuk masalah kegelisahan sosial, dan sering kali dikombinasikan dengan strategi terapi. Bangunan dari penelitian menganggap bahwa terapi yang didasarkan pada pikiran lebih efektif untuk penderita lain (misalkan dalam mencegah seseorang selalu berada dalam keadaan depresi; 64), para peneliti menyarankan strategi pikiran ini digunakan pada penderita SP. Pada kajian sebelumnya, Bogels dan koleganya melaporkan bahwa ketika pasien diterapi dengan kombinasi strategi terapi pikiran dan TCT, ia mempunyai pengaruh yang luas pada pasien (65). Sedangkan peneliti lain menyatakan bahwa dengan menggunakan prinsip-prinsip pikiran dalam kontek penerimaan dan komitmen terapi adalah untuk masalah ketegangan/ kegelisahan sosial (66). Dalam kontek ini, seseorang menggunakan strategi pikiran untuk bisa menerima perasaan dan pikiran yang gelisah sambil mencari nilai yang menjadi tujuan, meskipun menggunakan strategi penghindaran dan penindasan. Peneliti selanjutnya akan menggambarkan strategi tersebut.

Inovasi signifikan yang lain dalam terapi SP adalah melibatkan penggunaan tekhnologi untuk memperluas capaian strategi CBT. Kajian sebelumnya telah menggunakan tekhnik realitas virtual dalam menyelesaikan masalah ketakutan berbicara didepan publik (67-69), yang diteliti dengan cermat oleh orang lain, dengan interaksi bersama orang lain dalam mengintimkan lingkungan, dan dengan menavigasi melalui situasi yang membutuhkan ketegasan (70). Dalam kajian ini, partisipan ikut serta dalam membuka lingkungan yang sesuai (misalkan, komputer mensimulasikan audien yang dijangkiti rasa bosan dan tertarik) pada waktu yang lama. Kajian awal menghasilkan penggunaan pada medium ini. Pertama, kajian ini merekomendasikan bahwa strategi terapi exposure pada lingkungan nyata atau audien bisa mendapatkan gejala baru dalam masalah yang sama dengan menggunakan terapi exposure pada audien yang lain (71), yang memberikan validitas terhadap tekhnik ini. Dalam kajian ini juga ditemukan bahwa pengulangan terapi exposure pada keadaan nyata menyebabkan adanya reduksi terhadap rasa takut dan menghindar berbicara didepan publik (67,68), dan hasilnya adalah hampir sama dengan apa yang didapatkan oleh kelompok CBT (70). Heimberg dan Coles mencatat dalam komentarnya tentang adanya inovasi dalam strategi CBT untuk orang yang tidak pernah tenang, komponen relitas virtual dalam terapi merupakan sesuatu yang cocok dan menarik karena hal itu bisa membreikan akses untuk memperlambat, memperjarang dan mengontrol keadaan. Selanjutnya, alam nyata yang dihadapi memberikan mediasi terhadap terciptanya keadaan yang menakutkan (72).

Penggunaan tekhnologi lain dalam terapi SP adalah program tele-psikologis yang didesain untuk memberikan program terapan CBT melalui internet yang menekankan pada strategi exposure. Partisipan harus menjalani penilaian lalu kemudian menerima pengajaran terapi melalui program tersebut, termasuk adanya feedback dari tingkat dan rangkaian kemajuan yang dicapai (73). Data awal dari 12 partisipan mengalami peningkatan, dengan partisipan yang dilaporkan mengalami penurunan pada gejala SP waktu menjalani terapi dan follow-up selama 1 tahun.

Inovasi selanjutnya melibatkan adanya penggunaan stimulus exposure yang baru dalam CBT untuk pasien SP. Masia dan koleganya menggambarkan penggunaan strategi exposure pada masyarakat dengan menggunakan kata-kata ancaman bahkan pada standart protokol CBT (74). Mereka mencatat bahwa bahasa mempunyai kekuatan mendatangkan emosi dan penderita SP sangat dimungkinkan mempunyai sejumlah emosi yang diasosiasikan pada kata-kata masyarakat seperti ”memalukan” dan ”rendah.” strategi exposure yang demikian, yang berhubungan dengan kata-kata, membuktikan adanya penggunaan tipe exposure imajinatif dalam pelaksanaan terapi. Kajian Pilot telah memberikan dukungan awal terhadap pengaruh penurunan ketenangan seseorang dalam membaca kata-kata masyarakat yang mengandung ancaman, dengan partisipan menunjukan sebuah reduksi pengaruh dalam tingkat ketenangan, dan gejala kegelisahan sosial yang ada setelah dilakukan terapi; misalkan partisipan menunjukan peningkatan yang signifikan daripada kelompok yang membaca kata-kata ancaman tersebut secara netral.

Kesimpulan

SP merupakan kondisi umum yang menyebabkan pelemahan fungsional secara signifikan untuk si penderita. Dalam dua dekade, sejak SP termasuk dalam persoalan DSM-III (75), model teoritis baru yang menjelaskan adanya pengembangan dan pemeliharaan SP, telah dikembangkan; banyak penelitian dilakukan untuk menemukan bagaimana mengatasi masalah yang sedang berkembang ini. Disini, kita telah menunjukan bukti-bukti dari berbagai macam terapi psikologis, yang mungkin bisa dijadikan daftar kontrol yang dapat dipercaya tanpa adanya intervensi-intervensi lain. Lebih dari setahun ini, kajian difokuskan pada perbandingan terapi aktif, yang dimaksudkan untuk menjawab relativitas kemanjuran kombinasi terapi meditasi dan terapi psikologis, kombinasi dengan mono-terapi, dan yang paling penting penelitian terhadap persoalan ini terus berlanjut dilakukan. Meskipun kita merasa percaya diri pada apa yang telah kita capai dalam pemahaman kita terhadap efektivitas terapi SP, yang perlu diingat adalah masih banyak hal yang tetap perlu dilakukan dalam hal ini.

Misalkan, masih ada beberapa ketidak konsistenan dalam literatur tentang identifikasi efektivitas dan komponen penting dalam kemasan terapi (yaitu, exposure vs SST vs CT vs CBT). Kajian baru-baru ini yang dilakukan oleh Clark dan koleganya mengungkapkan ukuran pengaruh tertinggi untuk terapi versi CT dari pada apa yang telah dilihat pada kajian sebelumnya tentang kelompok CBT atau komponen CBT (15). Demikian juga dimungkinkan bahwa CT mengacu pada model Clark dan Wells (7) lebih unggul dan berkualitas dari pada terapi-terapi psikologis dan parmakologis yang lain, dan kami menunggu hasil dan penemuan penelitian-penelitian selanjutnya.

Bagaimanapun juga, keuntungan dari terapi ini terletak pada model penyampaiannya: dan dimungkinkan terapi seperti ini juga bisa menawarkan secara individual, sebuah keunggulan tersendiri dari pada kelompok terapi yang lain, meskipun spekulasi dan tersebar luas, hal ini dipercaya mempunyai keuntungan bagi kelompok terapi untuk penderita SP. Penelitian yang menangkap hal ini dan persoalan-persoalan lain akan memperkaya pengetahuan kita tentang terapi dan memperbaiki serta memperdalam pemahaman kita terhadap penyakit itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar